Rabu, 02 Mei 2012

PENGAJIAN KILATAN SHOHIH BUKHORI DAN MUSLIM, DARI WAKTU KE WAKTU


              Adanya pengajian kilatan kitab Hadis Shohih Al Bukhori di bulan Jumadil Akhir, sebab dorongan dari keluarga Bani Misbah. Karena bulan Jumadil Akhir adalah bulan haul KH. Hasan Asy’ari dan untuk memperingati haul tersebut akan bertambah semarak apabila disertai pembacaan kitab-kitab kuning diantaranya yaitu dua kitab hadis Shohih Bukhori dan Shohih Muslim yang diiringi oleh kitab-kitab yang lain.
Kemudian semua keluarga dikumpulkan dan atas dorongan KH. Shodaqoh Bugen Semarang memilih Simbah KH. Ahmad Asy’ari (putra Simbah KH. Hasan Asy’ari ) untuk membacakan dua kitab tersebut secara bergantian. Adapun pembacaan kitab hadis tersebut dimulai pada tahun 1948 M. pada tahun itu yang dibaca adalah kitab Shohihul Bukhori dan pada tahun berikutnya yang dibaca adalah kitab Shohihul Muslim, begitu seterusnya secara bergantian.

Ke Sultan Agung  Semarang
Bulan berlalu, tahunpun terus berganti, pengajian rutinan bulan Jumadil Akhir berjalan dengan baik. Tahun demi tahun makin bertambah semarak dengan peserta pengajian yang datang dari berbagai penjuru, tidak hanya dari indonesia tapi juga dari negara-negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1977 M menjelang bulan Jumadil Akhir Simbah KH. Ahmad Asy’ari sakit, lalu Beliau dirawat di Ketapang Susukan Kab. Semarang. Sampai pada bulan Jumadil Akhir Simbah KH. Ahmad Asy’ari belum juga sembuh, padahal para santri peserta kilatan sudah banyak yang datang dari berbagai penjuru. Kemudian Beliau Simbah KH. Ahmad Asy’ari dijemput putranya (KH. Habib Ahmad dan KH. Ma’mun Ahmad) untuk diajak pulang karena sudah dinanti oleh para santri peserta pengajian. Karena beliau masih dalam keadaan sakit, maka pada waktu itu pengajian  Shohihul Muslim  bukan di masjid, melainkan di kediaman beliau (ndalem).

Digantikan oleh Adik dan Kedua Putranya
                Karena dalam keadaan sakit, kurang dari lima hari beliau tidak bisa meneruskan pembacaan kitab tersebut. Kemudian keluarganya dikumpulkan kembali dan sepakat untuk menjemput KH. Shodaqoh (kakak beliau) dari Bugen Semarang  supaya meneruskan pengajian kitab hadis tersebut. Kemudian pengajian kitab tersebut dilanjutkan oleh KH. Shodaqoh, namun tidak berlangsung lama sebab banyak kegiatan dan kesibukan beliau. Keluarga pun sepakat untuk memilih KH. Fadhil Asy’ari, KH. Habib Ahmad dan KH. Ma’mun Ahmad untuk meneruskan pengajian tersebut. Dan semenjak itulah beliau bertiga yang meneruskan pengajian kilatan di Al-Ittihad, menggantikan Simbah KH.Ahmad Asy’ari yang telah kembali ke Rahmatullah di bulan Sya’ban tahun 1977 M.

Tinggal Berdua
                Tahun  demi tahun, dalam bulan Jumadil Akhir pengajian pun berlangsung dengan baik. Namun pada tahun 1987  M, tepatnya di bulan Jumadil Akhir (saat kilatan kitab Shohih Muslim) Poncol kembali kehilangan ulama’ tercintanya yaitu KH. Habib Ahmad yang senantiasa mendampingi pamannya -KH. Fadhil Asy’ari- dan adiknya -K.H Ma’mun Ahmad- dalam pengajian kilatan. Pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 1987 M  beliau pulang ke rahmatulloh, dan semenjak kepergiannya pembacaan kitab hadis diserahkan sepenuhnya kepada Simbah KH. Fadhil Asy’ari dan KH. Ma’mun Ahmad. Namun pada tahun 2003 yang bertepatan dengan pengajian kitab hadist Shohihul Muslim, beliau simbah KH. Ma’mun Ahmad tidak dapat mengikuti pengajian sebab saat itu beliau sakit dan hanya membuka adanya pengajian kitab Shohihul Muslim. Kemudian dilanjutkan oleh adiknya beliau KH. Musta’in Ahmad.
Pada tahun 2006 pengajian kitab Shohihul Bukhori dibacakan oleh KH. Fadhil Asy’ari dan KH. Musta’in Ahmad yang dibantu oleh keponakan KH. Fadhil Asy’ari yaitu KH. Nur Cholish Thohir.

Ditinggal Dua Ulama’ Besar
                Pada tahun 2007, lagi-lagi Poncol harus berduka cita karena kehilangan Ulama’ sepuh mereka yang selama ini merupakan lampu sebagai penerang kegelapan di setiap detiknya. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu tiga bulan poncol harus kehilangan dua Ulama’ sepuh yang selama ini menjadi pondasi dan tulang punggung adanya pondok pesantren AL-ITTIHAD tercinta. Mereka adalah KH. Ma’mun Ahmad yang meninggal tepat pada hari Ahad malam Senin tanggal 10 Muharrom 1428 H (28 Januari 2007 M) dan KH. Fadhil Asy’ari, yang pulang ke rahmatullah tepatnya pada hari Senin tanggal 18 Jumadil Ula 1428 H (4 Juni 2007 M).
                Sepeniggal KH. Fadhil Asy’ari dan KH. Ma’mun Ahmad, para keluarga sepakat bahwa pembacaan kitab hadits di bulan Jumadil Akhir tahun 2007 yang saat itu bertepatan dengan kitab hadits Shohihul Muslim diteruskan oleh empat orang yaitu KH. Musta’in Ahmad, KH. Nurcholish Thohir, KH. Fathurrohman Thohir, dan K. Muhammad Fatih AL-Hafidz hingga pada tahun 2009 M.
                Pada tahun 2010 M bertepatan pembacaan kitab Shohihul Bukhori, mengingat kondisi KH. Musta’in Ahmad yang belum sepenuhnya sembuh dari sakit beliau, maka beliau meminta bantuan kepada adiknya K. Hasan Al-Faruq bin KH. Ahmad Asy’ari. Pada tahun 1433/2012 ini, K. Hasan Al-Faruq tidak lagi ikut membantu pembacaan kitab Shohihul Bukhori karena --alhamdulillah-- beliau KH. Musta’in Ahmad sudah sehat.
Semoga Beliau-beliau dapat meneruskan apa yang telah menjadi wasiat dari para leluhurnya. Amin ya Robbal ‘alamin…..

KISAH KIAI KAMPUNG


Inilah kisah kiai kampung, kebetulan kiai kampung ini menjadi imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika didatangi seorang tamu, mengaku santri liberal, karena lulusan pesantren modern dan pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah.
Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi akademik, plus telah belajar Islam di tempat asalnya. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf.
Tentu saja, tujuan utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai.
Santri liberal ini langsung menyerang sang kiai: "Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur'an dan hadits," ujar santri itu dengan nada menantang.
Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan pertanyaan berikutnya. "Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak pernah terjadi pada zaman Nabi dan berarti itu perbuatan bid'ah," kilahnya dengan nada yakin dan semangat.
Mendapat ceceran pertanyaan, kiai kampung tak langsung reaksioner. Malah sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi. Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas.
Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas.
Lalu kiai bertanya: "Kok tidak langsung diminum dari termos saja, mengapa dituang ke gelas dulu?," tanya kiai santai.
Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar lebih mudah minumnya kiai," jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: "Itulah jawabannya mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur'an dan hadits.
Kami menggunakan kitab-kitab kuning yang mu'tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu'tabaroh adalah diambil dari al-Qur'an dan hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu, sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah minumnya, bukankah begitu?". Tamu tersebut terdiam tak berkutik.
Kemudian kiai balik bertanya: "Apakah adik hafal al-Qur'an dan sejauh mana pemahaman adik tentang al-Qur'an? Berapa ribu adik hafal hadits? Kalau dibandingkan dengan 'Imam Syafi'i siapa yang lebih alim?"
Santri liberal ini menjawab: Ya tentu 'Imam Syafi'i kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur'an, beliau juga banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 tahun beliau telah menjadi guru besar dan mufti," jawab santri liberal.
Kiai menimpali: "Itulah sebabnya mengapa saya harus bermadzhab pada 'Imam Syafi'i, karena saya percaya pemahaman Imam Syafi'i tentang al-Qur'an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?," tanya kiai. "Ya kiai," jawab santri liberal.
Kiai kemudian bertanya kepada tamunya tersebut: "Terus selama ini orang-orang awam. Tata cara ibadahnya mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa membaca al-Qur'an apalagi memahami?," tanya kiai.
Sang santri liberal menjawab: "Kan ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam mengikuti keputusan tersebut," jelas santri liberal.
Kemudian kiai bertanya balik: "Kira-kira menurut adik lebih alim mana anggota majelis fatwa tersebut dengan Imam Syafi'i ya?.".
Jawab santri: "Ya tentu alim Imam Syafi'i kiai," jawabnya singkat.
Kiai kembali menjawab: "Itulah sebabnya kami bermadzhab 'Imam Syafi'i dan tidak langsung mengambil dari al-Qur'an dan hadits,".
" Oh begitu masuk akal juga ya kiai!!," jawab santri liberal ini.
Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai kampung,
akhirnya minta izin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.... ^_^

Selasa, 23 Maret 2010

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren

Pondok Pesantren Al-Ittihad didirikan oleh seorang Alim, bernama Simbah KH Misbah. Beliau dilahirkan di desa Gogodalem Bringin Kab. Semarang dari seorang ayah yang bernama K. Raden Mertodito dan ibu yang bernama Nyai Asiyah, keturunan orang yang memperhatikan agama Islam. Adapun hari kelahiran dan perjalanan hidupnya dari masa anak-anak sampai dewasa beliau, dapat ditelusuri sejarahnya. Dengan istri pertamanya beliau tidak di karuniai putra, kemudian sepakat untuk furqoh (bercerai). Kemudian beliau menikah yang kedua kalinya dengan gadis dari Kauman Lor Pabelan Salatiga, namun setelah dikaruniai dua putra (Ikrom dan Askirom) tidak ada kecocokan kemudian furqoh. Setelah itu, istri kedua beliau memohon agar Mbah Misbah untuk menikah dengan adiknya yang bernama Aisyah, dan mereka sanggup untuk menjadi khodim beliau. Sejak pernikahan beliau dengan Aisyah, beliau pindah ke Padaan, Pabelan dan pada tahun 1810 M, lahir putra yang pertama yang diberi nama Umar (Hasan Asy’ari). Tidak lama kemudian pindah ke Ngawi, di Ngawi lahir dua putra (Toyib dan Marzuqi) dan satu putri (Khotijah). Setelah 22 tahun di Ngawi beliau pindah ke Cikalan (sebelah timur Dusun Poncol).

CIKAL BAKAL ULAMA’ PONCOL

bah Misbah yang mempunyai ilmu syari’at, beliau merasa bertanggung jawab untuk “nasyrul ‘ilmi waddin”. Kabar kealimannya didengar oleh Mbah Sinder, penguasa Getas (sebelah selatan Poncol). Pada tahun keempat sekembalinya dari Ngawi beliau diminta oleh Mbah Sinder untuk mengamankan daerah sebelah utara Getas, yaitu wilayah Ngerkesan, yang terkenal angker, letaknya di antara dua aliran sungai yang bertemu dan menjorok, daerah inilah yang disebut Poncol . Ngerkesan dikatakan angker, sebab jika ada orang yang melewati daerah tersebut maka keselamatannya tidak dapat dijamin. Berkat izin Allah SWT., beliau dapat mengamankan daerah tersebut. Sebagai imbalannya daerah tersebut menjadi milik beliau. Bukan pekerjaan yang ringan untuk mengubah hutan belantara menjadi tempat pemukiman dan bercocok tanam seperti sekarang ini. Maka Mbah Misbah dengan dibantu oleh Yadi dan Safron melaksanakan tugas tersebut, walaupun putera-puteri mereka masih kecil-kecil. Adapun Umar ( Hasan Asy’ari ) kerjanya hanya bermalas- malasan dan suka kelenceran, hanyalah orang-orang yang punya ketabahan, kesabaran, dan keuletan yang dapat melaksanakan tugas berat tersebut.

BERDIRINYA PONDOK PESANTREN

Setelah menjadi tempat pemukiman selanjutnya tempat tersebut dijadikan sebagai tempat basis dakwah beliau. Karena kealiman dan kearifannya, pengajian beliau banyak dikunjungi oleh masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah. Sebagai pemecahannya didirikan masjid sebagai pusat pengajian beliau. Semenjak itulah Umar (Hasan Asy’ari) mulai sadar yang akhirnya dia mulai mau mengaji. Umar mulai mengaji di Termas, kemudian ke Mangkang dan yang terakhir kalinya ke daerah Jambu, Ambarawa, yaitu ke tempat Simbah Kiai Zainuddin. Karena kelimpatannya dalam menimba ilmu, Umar pulang setelah dinikahkan dengan putri gurunya yang bernama Natijah. Setelah kembali ke Poncol, Umar turut membantu romonya untuk mengurus santri yang semakin bertambah banyak. Lalu sebagai jalan keluarnya dibangunlah kamar yang berukuran 10 petak. Dengan demikian tambah ramailah Poncol dengan penimba ilmu kebijaksanaan.

PULANG KE RAHMATULLAH

Saat Kiai Hasan Asy’ari dikaruniai 9 putra, beliau sudah menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1332 H oleh H. Thoyib (lurah Popongan ), beliau dibiayai untuk naik haji yang kedua, pada waktu inilah Simbah KH. Misbah ingin melaksanakan ibadah haji dengan putranya, namun beliau tidak memiliki biaya sedikitpun. Kemudian beliau melaksanakan i’tikaf selama 40 hari. Dengan kehendak Allah menjelang keberangkatannya, banyak orang yang datang menghaturkan bekal untuk ziaroh ke makam Rosululloh. Sesampainya di Mekkah beliau melaksanakan ibadah hajinya dengan sempurna. Pada bulan Rojab beliau berziaroh ke Madinah, saat sampai di wadi Fatimah, beliau sakit dan tidak dapat menyempurnakan ziarohnya ke makam Nabi Muhammad SAW. Sekembalinya ke kota Mekkah, sakit Beliau bertambah parah, dan pada tanggal 27 Romadhon, tepatnya jam 12 siang, beliau menangis sejadi-jadinya. Kawan-kawan haji bergiliran menunggu beliau. Ketika sampi giliran Kyai Hasan, Mbah Misbah berkata “lee anakku, olehku nangis iki, rikolo aku ora turu dumadaan aku kerawuhan Gusti Rosul, aku ora pangkling sebab aku wis bola-bali ngimpi ketemu Gusti Rosul. Dene olehe dawuhi durung mari kangen marang aku, sebabe aku sowan namung sedelok kerono aku loro, lan kersane arep mulang penggawe haji. Wusono kesat durung tutuk mulang, bacut sedo ono imaman hanafi. Iku aku terus nangis, kesat wasiat hajiku kon nglakoni kowe lan kabeh perkarane mbok lan dulur-dulurmu kon masrahake kowe”. Itulah pesan Mbah Misbah kepada Kyai Hasan. Kemudian sakitnya bertambah parah, dan pada hari senin tanggal 12 Dzulhijjah tahun 1332 H, di kota Mekkah Al Mukarromah, Beliau sowan ke hadirat Allah SWT.