Inilah kisah kiai kampung, kebetulan
kiai kampung ini menjadi imam musholla dan
sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika didatangi seorang tamu, mengaku santri liberal, karena
lulusan pesantren modern dan pernah
mengenyam pendidikan di Timur Tengah.
Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi
akademik, plus telah
belajar Islam di tempat asalnya.
Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf.
Tentu saja, tujuan utama tamu itu
mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai.
Santri liberal ini langsung menyerang
sang kiai: "Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur'an dan hadits," ujar santri itu dengan
nada menantang.
Belum sempat menjawab, kiai kampung itu
dicecar dengan pertanyaan berikutnya. "Mengapa
kiai kalau dzikir kok dengan
suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu
semua tidak pernah terjadi pada
zaman Nabi dan berarti itu perbuatan bid'ah," kilahnya dengan nada yakin
dan semangat.
Mendapat ceceran pertanyaan, kiai
kampung tak langsung reaksioner. Malah
sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi.
Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas.
Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas.
Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas.
Lalu kiai bertanya: "Kok tidak
langsung diminum dari termos saja, mengapa dituang ke gelas dulu?," tanya
kiai santai.
Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar
lebih mudah minumnya kiai," jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: "Itulah jawabannya
mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur'an dan hadits.
Kami menggunakan kitab-kitab kuning
yang mu'tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu'tabaroh adalah diambil dari al-Qur'an dan
hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu,
sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah
minumnya, bukankah begitu?". Tamu tersebut terdiam tak berkutik.
Kemudian kiai balik bertanya: "Apakah adik hafal al-Qur'an dan
sejauh mana pemahaman adik tentang al-Qur'an? Berapa ribu adik hafal hadits?
Kalau dibandingkan dengan 'Imam Syafi'i siapa yang lebih alim?"
Santri liberal ini menjawab: Ya tentu
'Imam Syafi'i kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur'an, beliau juga
banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 tahun beliau telah
menjadi guru besar dan mufti," jawab santri liberal.
Kiai menimpali: "Itulah sebabnya
mengapa saya harus bermadzhab pada 'Imam Syafi'i, karena saya percaya pemahaman
Imam Syafi'i tentang al-Qur'an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?," tanya kiai. "Ya kiai," jawab santri
liberal.
Kiai kemudian bertanya kepada tamunya
tersebut: "Terus selama ini orang-orang awam. Tata cara ibadahnya
mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa
membaca al-Qur'an apalagi memahami?," tanya kiai.
Sang santri liberal menjawab: "Kan
ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam
mengikuti keputusan tersebut," jelas
santri liberal.
Kemudian kiai bertanya balik: "Kira-kira menurut adik lebih alim
mana anggota majelis fatwa
tersebut dengan Imam Syafi'i ya?.".
Jawab santri: "Ya tentu alim Imam
Syafi'i kiai," jawabnya singkat.
Kiai kembali menjawab: "Itulah
sebabnya kami bermadzhab 'Imam Syafi'i dan tidak langsung mengambil dari
al-Qur'an dan hadits,".
" Oh begitu masuk akal juga ya
kiai!!," jawab santri liberal ini.
Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai
kampung,
akhirnya minta izin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.... ^_^
akhirnya minta izin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.... ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar